Rabu, 02 September 2015

Dia, Bu Sri



Januari 2007

Mungkin semua orang pernah merasakan bagaimana indahnya cinta pertama, begitu pula dengan diriku, yang saat ini masih duduk di kelas VIII SMP. Tak seperti yang lain, cinta pertama ku ini agak sedikit gila, aku jatuh cinta pada seorang yang mengajar di sekolahku, benar-benar gila!. 

“Kenapa Hamdan?” dengan nada meninggi Bu Sri bertanya kepada ku.
“Tidak ada apa-apa Bu, he…” Aku  sedikit kaget, karena  tak menduga gerak gerik ku yang sedari tadi memperhatikannya menjelaskan pelajaran di depan kelas mulai menjadi sedikit aneh di matanya.  Bagaimana tidak, karena dua orang temanku dibangku depan banyak bergerak tanpa sadar dalam beberapa detik saja aku memiringkan kepala ku ke kiri dan kekanan dengan sudut empat puluh lima derajat untuk mencari posisi yang pas menyaksikan show Bu Sri pagi ini.

Namanya Sri Nur Diana, aku dan teman-teman memanggilnya Bu Sri, perawakannya tidak tinggi dan tidak juga pendek, wajah Bu Sri terbilang manis, Bu Sri masuk dalam kategori guru-guru galak di sekolah juga sedikit kaku, tapi di balik semua itu Bu Sri adalah sosok guru yang pengertian dan tempat curhat paling empuk, aku dan juga teman-teman ku sering menanyakan berbagai masalah di luar jam sekolah kepadanya.

Dari mana kisah cinta ini harus ku mulai, ahh kisah cinta? Aku sadar masih belia, tapi apa sebenarnya yang aku rasakan saat ini? Bukan cinta kah? Setiap kali namanya disebut jantung ku berdegup tak karuan, padahal nama Sri adalah nama yang pasaran, aku bisa mendengarnya dimana-mana, di warung, di pasar, di sekolah, bahkan banyak dari tetangga dan teman sebaya ku pun bernama Sri. Sri Rahayu, Mbah Sri, Yuk Sri… Benar-benar menyiksa.

Sejak kapankah?
Apakah saat upacara bendera, saat matahari beranjak naik dari balik gedung tingkat dua sekolah kami? Ya, pagi yang tak biasa, saat matahari berwarna kuning dengan cahaya keemasan perlahan menyapu wajah  manis nya hingga merona sempurna tepat di depan barisanku, meski saat itu Bu Sri mengenakan seragam sekolah yang bersahaja, tetap saja istimewa.

Atau sejak kami terlibat aktif dalam komunitas sosial yang sama, sehingga aku dan Bu Sri menjadi sangat akrab sekali, kami menghadiri rapat bersama, makan siang bersama, dan yang  paling membuatku terkesima pada masa itu, saat terjadi perseteruan panas dengan seorang warga, aku meyaksikan semuanya bagaiamana dengan pikiran yang masih berkecamuk setelah mendengar segala caci maki dan hinaan dengan nada kasar, Bu Sri dengan tenang dan bijak menyelesaikan perseteruan itu hingga semua pihak merasa lega dan tidak dirugikan.

Entahlah, aku tak tau sejak kapan semua rasa ini halus menelusup ke dalam hati ku dan semakin hari semakin hebat. 

*********                                                                                                                                         
Oktober 2008

Suasana di sekolah riuh, menjelang pukul delapan pagi orang tua mulai berdatangan. Tahun ini merupakan tahun terakhir ku di SMP, ya saat ini aku sudah kelas IX, sebentar lagi aku akan mengakhiri masa SMP ku yang sangat indah ini dan itu artinya aku akan berpisah dengan Bu Sri, guru paling spesial di hatiku. Keputusan ku ini sudah bulat, sudah berminggu-minggu aku fikirkan, bagaimana pun tanggapan Bu Sri nanti, aku ingin mengungkapkan apa yang aku rasakan, meski aku sadar ini sedikit gila, tapi perasaan ku pada nya bukanlah main-main.

 “Gila kamu Hamdan…!!” Rizki yang sedari tadi tenang menyimak kisah  ku yang tak biasa ini bangkit dari tempat duduk dan menggaruk-garuk kepalanya.
Aku mengalihkan pandanganku ke langit, kemudian menunduk sadar bahwa keputusan ku ini tak seratus persen akan didukungnya.
“Aku tau Ki, ini memang gila, tapi semua orang berhak menyukai siapapun bukan?”
Aku mencoba membela diri.              
Rizki terdiam lama, dan inilah alasan mengapa aku menceritakan masalah-masalahku kepadanya, dia sosok yang tenang dan pemikir.
“Hm…, kamu ingat apa yang dikatakan Bu Sri saat Dede dan Jasmin ketauan bepacaran di belakang sekolah?”
“Kalau kita sangat suka atau jatuh cinta dengan seseorang, hanya ada dua pilihan… halalkan atau ikhlaskan, kalian masih muda, banyak hal positif yang bisa kalian lakukan, tahan diri selama mungkin untuk tidak berpacaran ya nak!”
Tanggapan Rizki kali ini membuatku mengingat pesan Bu Sri beberapa bulan yang lalu lengkap dengan nada tegas dan wajah seriusnya. Begitulah Bu Sri, dia sangat peduli dengan kenakalan remaja sampai sampai pacaran yang bagi guru kekinian di anggap hal sepele tetapi tidak baginya.
“Iya Ki, aku sadar…, tapi salah ya kalau aku mau Bu Sri tau apa yang aku rasakan?”
Rizki kali ini terdiam lebih lama, dengan sedikit wajah sendu Rizki menatapku lantas menghela nafasnya.
“Aku hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu Dan...!” Rizki menepuk pundak ku, sambil sedikit tesenyum kecut.
*********
Desember 2008

Rabu, Pukul 14.15 WIB, dengan segenap keberanian aku menemui Bu Sri dikediamannya.
 “Bu, ss saya mau bicara d dengan ibu…” Suaraku gemetar hebat, ini lebih buruk dari yang aku prediksikan.
“Ada apa Hamdan?” balas bu Sri datar, sambil menyuguhkan secangkir teh manis.
 “S  s ssebenarnya….”
“Kamu kenapa Hamdan?” Bu Sri bingung melihat gelagatku.
“Lusa saya mau berangkat ke luar kota Bu.”
“Oh iya, ayah mu sudah mengabari Ibu dua hari yang lalu, SMA Bima Sakti ya? Belajar yang baik di sana ya Hamdan, jangan nakal lagi!”
Entah mengapa lidahku kelu, hingga aku mengubah topik pembicaraan melanjutkan SMA ke luar kota. Aku bingung harus bagaimana, dan hanya bisa diam dan mengangguk.
“Tapi, sayang sekali jadinya kamu tidak bisa hadir di hari pernikahan ibu minggu depan.”

Seketika aku diam, membeku untuk beberapa saat, sangat jelas di telingaku kata yang baru saja keluar dari mulut Bu Sri, guru teramat spesial di hatiku. Pernikahan? Sangat sulit bagi fikiranku untuk mencerna kata-kata itu. Segera aku pamit pulang,  meninggalkan Bu Sri yang tentu saja kebingungan melihat tingkahku. Saat ini Bu Sri berusia 23 tahun, dan memang sudah wajar baginya untuk membina rumah tangga, sebagai seorang lelaki menghadapi kejadian seperti ini, aku merasa sangat malu dengan diriku yang tak sadar diri. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah tak ada air mata yang tumpah, hanya saja aku tak henti memaki diriku sendiri di dalam hati.

Oktober 2015

Mengikhlaskan, itu satu kata yang aku pegang selama ini ketika aku merindukan sosok Bu Sri. Aku  mulai menyibukkan diri dengan beragam aktivitas dan berhasil meraih berbagai prestasi saat SMA pun juga ketika kuliah. Usia ku saat ini beranjak 23 tahun, aku sudah mulai bekerja di sebuah perusahaan properti di kota kelahiranku, gajinya cukup lumayan untuk seorang fresh graduate seperti diriku.

Selama bertahun-tahun ini aku menuntut ilmu di luar kota, pergi ke banyak tempat dan bertemu dengan banyak orang, tapi entahlah belum ada yang bisa menggantikan tempat Bu Sri di hati ku, aku tak pernah berani menghubunginya meski jauh di dalam hati aku sangat ingin tahu bagaimana kabarnya saat ini. Hingga suatu hari…
Rizki teman SMP ku dulu, tiba-tiba menelpon dan mengabarkan kabar bahagia bahwa dia akan menikah, asyik bercakap-cakap Rizki pun membahas seputar teman-teman lama, sekolah, guru.. dan tentu saja Bu Sri.
“Eh udah tau belum?”
“Apa?”
“Bu Sri baru pulang dari Jepang lho bulan kemaren”
“Ha? bukannya dia udah merried kan?”
“Dan… Dan, super sibuk  kamu sekarang ya sampai kabar gurunya aja gak update! suaminya kan kecelakaan pesawat pas setahun menikah, trus Bu Sri lanjut S2 ke Jepang, dan sekarang Bu Sri itu statusnya janda kembang.”
Mataku berkaca-kaca, ada rasa simpati, haru juga bercampur senang, saat ini aku seperti merasa seakan ada secercah cahaya harapan kembali bersinar. Dan deretan kata-kata Rizki selanjutnya yang membuatku tak bisa berucap sepatah katapun.
Trus kabarnya dari bibi ku, Bu Sri itu lagi nyari jodoh Dan..., kamu masih single kan? Cieee!
Aku langsung mematikan ponsel, ku abaikan ocehan Rizki terakhir. Segera sepulang kerja, aku berdiskusi dengan kedua orang tuaku, menceritakan semua lika liku kisah yang aku alami di masa lalu, dan diluar dugaanku mereka sangat mendukung niat baikku.

Bu Sri, sosok guru galak yang agak kaku itu ku lihat kini tidak banyak berubah meski waktu dan jarak telah lama memisahkan kami, wajahnya semakin teduh dan dari sorot matanya ada ketegaran yang ku tangkap. Dia tetap spesial di hatiku, saat ini, esok dan selamanya.

4 komentar:

  1. Dia cinta beneran rupanya. Q pikir gitu2 aja. Terbaeklah mu. Eh, ntar ditunggu cerpen yg tak kental jodoh2an ya. Hehe.
    Aq iri lah bs nulis gini....

    BalasHapus
  2. Well...great saadah...me too kak fit...someday... :)

    BalasHapus
  3. aiih..., kk lbih byk bca tntu nya lbih byk yg bs d tulis, just tulis jee
    fkusnya dsni indahnya mengikhlaskan bgitu...hee
    ok siap kk2

    thanks kak Winda..wait for your amazing story

    BalasHapus